Senin, 30 Maret 2015

PENEMUAN KEMBALI REVOLUSI KITA (THE REDISCOVERY OF OUR REVOLUTION)
 AMANAT PRESIDEN SOEKARNO
PADA ULANG TAHUN
PROKLAMASI KEMERDEKAAN INDONESIA,
17 AGUSTUS 1959 DI JAKARTA
Saudara-saudara sekalian!
Hari ini adalah “Hari 17 Agustus”.
17 Agustus 1959.
17 Agustus, – tepat empatbelas tahun sesudah kita mengadakan Proklamasi.
Saya berdiri di hadapan saudara-saudara, dan berbicara kepada saudara-saudara di seluruh Tanah-Air, bahkan juga kepada saudara-saudara bangsa Indonesia yang berada di luar Tanah-Air, untuk bersama-sama dengan saudara-saudara memper-ingati, merayakan, mengagung-kan, mencamkan Proklamasi kita yang keramat itu.
Dengan tegas saya katakan “mencamkan”. Sebab, hari ulang-tahun ke-empatbelas daripada Proklamasi kita itu harus benar-benar membuka halaman baru dalam sejarah Revolusi kita, halaman baru dalam sejarah Perjoangan Nasional kita.
1959 menduduki tempat yang istimewa dalam sejarah Revolusi kita itu. Tempat yang unik! Ada tahun yang saya namakan “tahun ketentuan”,-
a year of decision. Ada tahun yang saya sebut “tahun tantangan”, – a year of challenge. Istimewa tahun yang lalu saya nama-kan “tahun tantangan”. Tetapi buat tahun 1959 saya akan beri sebutan lain. Tahun 1959 adalah tahun dalam mana kita, – sesudah pengalaman pahit hampir sepuluh tahun -, kembali kepada Undang-Undang-Dasar 1945, – Undang-Undang-Dasar Revolusi. Tahun 1959 adalah tahun dalam mana kita kembali kepada jiwa Revolusi. Tahun 1959 – adalah tahun penemuan-kembali Revolusi. Tahun 1959 adalah tahun
Rediscovery of our Revolution“.
Oleh karena itulah maka tahun 1959 menduduki tempat yang istimewa dalam sejarah Perjoangan Nasional kita, satu tempat yang unik!
Seringkali telah saya jelaskan tentang tingkatan-tingkatan Revolusi kita ini.
1945-1950. Tingkatan Physical Revolution. Dalam tingkatan ini kita merebut dan mempertahankan apa yang kita rebut itu, yaitu kekuasaan, dari tangannya fihak imperialis, ke dalam tangan kita sendiri. Kita merebut dan mempertahankan kekuasaan itu dengan segenap tenaga rokhaniah dan jasmaniah yang ada pada kita, – dengan apinya kitapunya jiwa dan dengan apinya kitapunya bedil dan meriam. Angkasa Indonesia pada waktu itu adalah laksana angkasa kobong, bumi Indonesia laksana bumi tersiram api. Oleh karena itu maka periode 1945-1950 adalah periode Revolusi phisik. Periode ini, periode merebut dan mempertahan-kan kekuasaan, adalah periode Revolusi politik.
1950-1955. Tingkatan ini saya namakan tingkatan “survival”. Survival artinya tetap hidup, tidak mati. Lima tahun physical revolution tidak membuat kita rebah, lima tahun bertempur, menderita, berkorban-badaniah, lapar, kejar-kejaran dengan maut, tidak membuat kita binasa. Badan penuh dengan luka-luka, tetapi kita tetap berdiri. Dan antara 1950 -1955 kita sembuhkanlah luka-luka itu, kita sulami mana yang bolong, kita tutup mana yang jebol. Dan dalam tahun 1955 kita dapat berkata, bahwa tertebuslah segala penderitaan yang kita alami dalam periodenya Revolusi phisik.
1956. Mulai dengan tahun ini kita ingin memasuki satu periode baru. Kita ingin memasuki periodenya Revolusi sosial-ekonomis, untuk mencapai tujuan terakhir daripada Revolusi kita, yaitu satu masyarakat adil dan makmur, “tata-tentrem-kerta-raharja”. Tidakkah demikian, saudara-saudara? Kita ber-revolusi, kita berjoang, kita berkorban, kita berdansa dengan maut, toh bukan hanya untuk menaikkan bendera Sang Merah Putih, bukan hanya untuk melepaskan Sang Garuda Indonesia terbang di angkasa? “Kita bergerak”, – demikian saya tuliskan dalam risalah “Mentjapai Indonesia Merdeka” hampir tigapuluh tahun yang lalu -: “Kita bergerak karena kesengsaraan kita, kita bergerak karena ingin hidup lebih layak dan sempurna. Kita bergerak tidak karena “ideal” saja, kita bergerak karena ingin cukup makanan, ingin cukup pakaian, ingin cukup tanah, ingin cukup perumahan, ingin cukup pendidikan, ingin cukup meminum seni dan cultuur, – pendek-kata kita bergerak karena ingin perbaikan nasib di dalam segala bagian-bagiannya dan cabang-cabangnya. Perbaikan nasib ini hanyalah bisa datang seratus procent, bilamana masyarakat sudah tidak ada kapitalisme dan imperialisme. Sebab stelsel inilah yang sebagai kemladean tumbuh di atas tubuh kita, hidup dan subur daripada tenaga kita, rezeki kita, zat-zatnya masyarakat kita. Oleh karena itu, maka pergerakan kita janganlah pergerakan yang kecil-kecilan. – Pergerakan kita itu haruslah suatu pergerakan yang ingin merobah samasekali sifatnya masyarakat” …
Pendek-kata, dari dulu-mula tujuan kita ialah satu masyarakat yang adil dan makmur.
Masyarakat yang demikian itu tidak jatuh begitu saja dari langit, laksana embun di waktu malam. Masyarakat yang demikian itu harus kita perjuangkan, masyarakat yang demikian itu harus kita bangun. Sejak tahun 1956 kita ingin memasuki alam pembangunan. Alam pembangunan Semesta. Dan saudara-saudara telah sering mendengar dari mulut saya, bahwa untuk pembangunan Semesta itu kita harus mengadakan perbekalan-perbekalan dan peralatan-peralatan lebih dahulu, dalam bahasa asingnya: mengadakan “investment-investment” lebih dahulu. Sejak tahun 1956 mulailah periode investment. Dan sesudah periode investment itu selesai, mulailah periode pembangunan besar-besaran. Dan sesudah pembangunan besar-besaran itu, mengalamilah kita Insya Allah subhanahu wa ta’ala alamnya masyarakat adil dan makmur, alamnya masyarakat “murah sandang murah pangan”, “subur kang sarwa tinandur, murah kang sarwa tinuku”.
Saudara-saudara! Jika kita menengok ke belakang, maka tampaklah dengan jelas, bahwa dalam tingkatan Revolusi phisik, segala perbuatan kita dan segala tekad kita mempunyai dasar dan tujuan yang tegas-jelas buat kita-semua: melenyapkan kekuasaan Belanda dari bumi Indonesia, mengenyahkan bendera tiga-warna dari bumi Indonesia. Pada satu detik, jam sepuluh pagi, tanggal 17 Agustus, tahun 1945, Proklamasi diucap-kan, – tetapi lima tahun lamanya Jiwa Proklamasi itu tetap berkobar-kobar, tetap berapi-api, tetap murni menjiwai segenap fikiran dan rasa kita, tetap murni menghikmati segenap tindak-tanduk kita, tetap murni mewahyui segenap keikhlasan dan kerelaan kita untuk menderita dan berkorban. Undang-Undang-Dasar 1945, – Undang-Undang Dasar Proklamasi -, benar-benar ternyata Undang-Undang Dasar Perjoangan, benar-benar ternyata satu pelopor daripada alat-perjoangan! Dengan Jiwa Proklamasi dan dengan Undang-Undang Dasar Proklamasi itu, perjoangan berjalan pesat, malah perjoangan berjalan laksana lawine yang makin lama makin gemuruh dan tak tertahan, menyapu bersih segala penghalang!
Padahal lihat! Alat-alat yang berupa perbendaan (materiil) pada waktu itu serba kurang, serba sederhana, serba di bawah minimum! Keuangan tambal-sulam, Angkatan Perang compang-camping, kekuasaan politik jatuh-bangun, daerah de facto Republik Indonesia kadang-kadang hanya seperti selebar payung. Tetapi Jiwa Proklamasi dan Undang-Undang Dasar Proklamasi mengikat dan membakar semangat seluruh bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke! Itulah sebabnya kita pada waktu itu pantang mundur. Itulah sebabnya kita pada waktu itu akhirnya menang. Itulah sebabnya kita pada waktu itu akhirnya berhasil mendapat pengakuan kedaulatan, – bukan souvereiniteits-overdracht tetapi souvereiniteits-erkenning  -, pada tanggal 27 Desember 1949.
Demikianlah gilang-gemilangnya periode Revolusi phisik.
Dalam periode yang kemudian, yaitu dalam periode survival, sejak 1950, maka modal perjoangan dalam arti perbendaan (materiil) agak lebih besar daripada sebelumnya. Keuangan kita lebih longgar, Angkatan Perang kita tidak compang-camping lagi; kekuasaan politik kita diakui oleh sebagian besar dunia internasional; kekuasaan de facto kita melebar sampai daerah di muka pintu-gerbang Irian Barat. Tetapi dalam arti modal-mental, maka modal-perjoangan kita itu mengalami satu kemunduran. Apa sebab?
Pertama oleh karena jiwa, sesudah berakhirnya sesuatu perjoangan phisik, selalu mengalami satu kekendoran; kedua oleh karena pengakuan kedaulatan itu kita beli dengan berbagai macam kompromis.
Kompromis, tidak hanya dalam arti penebusan dengan kekayaan materiil, tetapi 1ebih jahat daripada itu: kompromis dalam arti mengorbankan Jiwa-Revolusi, dengan segala akibat daripada itu:
Dengan Belanda, melalui K.M.B., kita harus mencairkan jiwa revolusi kita; di Indonesia sendiri, kita harus berkompromis dengan golongan-golongan yang non-revolusioner: golongan-golongan blandis, golongan-golongan reformis, golongan-golongan konservatif, golongan-golongan kontra-revolusioner, golongan-golongan bunglon dan cucunguk. Sampai-sampai kita, dalam mengorbankan jiwa revolusi ini, meninggalkan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai alat-perjoangan!
Saya tidak mencela K.M.B. sebagai taktik perjoangan. Saya sendiri dulu mengguratkan apa yang saya namakan “tracee baru” untuk memperoleh pengakuan kedaulatan. Tetapi saya tidak menyetujui orang yang tidak menyedari adanya bahaya-bahaya penghalang Revolusi yang timbul sebagai akibat daripada kompromis K.M.B. itu. Apalagi orang yang tidak menyedari bahwa K.M.B. adalah satu kompromis! Orang-orang yang demikian itu adalah orang-orang yang pernah saya namakan orang-orang posibilis, orang-orang yang pada hakekatnya tidak dinamis-revolusioner, bahkan mungkin kontra-revolusioner. Orang-orang yang demikian itu sedikitnya adalah orang-orang yang beku, orang-orang yang tidak mengerti maknanya “taktik”, orang-orang yang mencampur-bawurkan taktik dan tujuan, orang-orang yang jiwanya “mandek”.
Orang-orang yang demikian itulah, di samping sebab-sebab lain, meracuni jiwa bangsa Indonesia sejak 1950 dengan racunnya reformisme. Merekalah yang menjadi salah satu sebab kemunduran modal-mental daripada Revolusi kita sejak 1950, meskipun di lapangan peralatan materiil kita mengalami sedikit kemadjuan. Kalau tergantung daripada mereka, kita sekarang masih hidup dalam alam K.M.B.! Masih hidup dalam alam Uni Indonesia-Belanda! Masih hidup dalam alam supremasi modal Belanda!
Mereka berkata, bahwa kita harus selalu tunduk kepada perjanjian Internasional: Satu kali kita setujui sesuatu perjanjian internasional, sampai lebur-kiamat kita tidak boleh menyimpang daripadanya! Mereka berkata, bahwa kita tidak boleh merobah negara federal á la van Mook, tidak boleh menghapuskan Uni, oleh karena kita telah menandatangani perjanjian K.M.B. “Setia kepada aksara, setia kepada aksara!”, demikianlah wijsheid yang mereka keramatkan. Nyatalah mereka samasekali tidak mengerti apa yang dinamakan Revolusi. Nyatalah mereka tidak mengerti bahwa Revolusi justru mengingkari aksara!
Dan nyatalah mereka tidak mengerti, – oleh karena mereka memang tidak ahli revolusi -, bahwa modal-pokok bagi tiap-tiap revolusi nasional menentang imperialisme-kolonialisme ialah Konsentrasi kekuatan nasional, dan bukan perpecahan kekuatan nasional. Meskipun kita menjetujui pemberian autonomi-daerah seluas-luasnya sesuai dengan motto kita Bhinneka Tunggal Ika, maka federalisme á la van Mook harus kita tidak setiai, harus kita kikis-habis selekas-lekasnya, oleh karena federalisme á la van Mook itu adalah pada hakekatnca alat pemecah-belah kekuatan nasional. Jahatnya politik pemecah-belahan ini ternyata sekali sejak tahun 1950 itu, dan mencapai klimaksnya dalam pemberontakan P.R.R.I.-Permesta dua tahun yang lalu, dan oleh karenanya harus kita gempur-hancur habis-habisan, sampai hilang-lenyap P.R.R.I

0 komentar:

Posting Komentar