PENEMUAN KEMBALI REVOLUSI KITA (THE REDISCOVERY OF
OUR REVOLUTION)
AMANAT PRESIDEN SOEKARNO
PADA ULANG TAHUN
PROKLAMASI KEMERDEKAAN INDONESIA,
17 AGUSTUS 1959 DI JAKARTA
Saudara-saudara sekalian!
Hari ini adalah “Hari 17 Agustus”.
17 Agustus 1959.
17 Agustus, – tepat empatbelas tahun
sesudah kita mengadakan Proklamasi.
Saya berdiri di hadapan
saudara-saudara, dan berbicara kepada saudara-saudara di seluruh Tanah-Air,
bahkan juga kepada saudara-saudara bangsa Indonesia yang berada di luar
Tanah-Air, untuk bersama-sama dengan saudara-saudara memper-ingati, merayakan,
mengagung-kan, mencamkan Proklamasi kita yang keramat itu.
Dengan tegas saya katakan
“mencamkan”. Sebab, hari ulang-tahun ke-empatbelas daripada Proklamasi kita itu
harus benar-benar membuka halaman baru dalam sejarah Revolusi kita, halaman
baru dalam sejarah Perjoangan Nasional kita.
1959 menduduki tempat yang istimewa
dalam sejarah Revolusi kita itu. Tempat yang unik! Ada tahun yang saya namakan
“tahun ketentuan”,-
a year of decision. Ada tahun yang saya sebut “tahun
tantangan”, – a year of challenge. Istimewa tahun yang lalu saya
nama-kan “tahun tantangan”. Tetapi buat tahun 1959 saya akan beri sebutan lain.
Tahun 1959 adalah tahun dalam mana kita, – sesudah pengalaman pahit hampir
sepuluh tahun -, kembali kepada Undang-Undang-Dasar 1945, – Undang-Undang-Dasar
Revolusi. Tahun 1959 adalah tahun dalam mana kita kembali kepada jiwa Revolusi.
Tahun 1959 – adalah tahun penemuan-kembali Revolusi. Tahun 1959 adalah tahun
“Rediscovery of our Revolution“.
Oleh karena itulah maka tahun 1959
menduduki tempat yang istimewa dalam sejarah Perjoangan Nasional kita, satu
tempat yang unik!
Seringkali telah saya jelaskan
tentang tingkatan-tingkatan Revolusi kita ini.
1945-1950. Tingkatan Physical Revolution.
Dalam tingkatan ini kita merebut dan mempertahankan apa yang kita rebut itu,
yaitu kekuasaan, dari tangannya fihak imperialis, ke dalam tangan kita sendiri.
Kita merebut dan mempertahankan kekuasaan itu dengan segenap tenaga rokhaniah
dan jasmaniah yang ada pada kita, – dengan apinya kitapunya jiwa dan dengan
apinya kitapunya bedil dan meriam. Angkasa Indonesia pada waktu itu adalah
laksana angkasa kobong, bumi Indonesia laksana bumi tersiram api. Oleh karena
itu maka periode 1945-1950 adalah periode Revolusi phisik. Periode ini, periode
merebut dan mempertahan-kan kekuasaan, adalah periode Revolusi politik.
1950-1955. Tingkatan ini saya namakan
tingkatan “survival”. Survival artinya tetap hidup, tidak mati. Lima tahun
physical revolution tidak membuat kita rebah, lima tahun bertempur, menderita,
berkorban-badaniah, lapar, kejar-kejaran dengan maut, tidak membuat kita
binasa. Badan penuh dengan luka-luka, tetapi kita tetap berdiri. Dan antara
1950 -1955 kita sembuhkanlah luka-luka itu, kita sulami mana yang bolong, kita
tutup mana yang jebol. Dan dalam tahun 1955 kita dapat berkata, bahwa
tertebuslah segala penderitaan yang kita alami dalam periodenya Revolusi
phisik.
1956. Mulai dengan tahun ini kita
ingin memasuki satu periode baru. Kita ingin memasuki periodenya Revolusi
sosial-ekonomis, untuk mencapai tujuan terakhir daripada Revolusi kita, yaitu
satu masyarakat adil dan makmur, “tata-tentrem-kerta-raharja”. Tidakkah
demikian, saudara-saudara? Kita ber-revolusi, kita berjoang, kita berkorban, kita
berdansa dengan maut, toh bukan hanya untuk menaikkan bendera Sang Merah Putih,
bukan hanya untuk melepaskan Sang Garuda Indonesia terbang di angkasa? “Kita
bergerak”, – demikian saya tuliskan dalam risalah “Mentjapai Indonesia
Merdeka” hampir tigapuluh tahun yang lalu -: “Kita bergerak karena
kesengsaraan kita, kita bergerak karena ingin hidup lebih layak dan sempurna.
Kita bergerak tidak karena “ideal” saja, kita bergerak karena ingin cukup
makanan, ingin cukup pakaian, ingin cukup tanah, ingin cukup perumahan, ingin
cukup pendidikan, ingin cukup meminum seni dan cultuur, – pendek-kata kita
bergerak karena ingin perbaikan nasib di dalam segala bagian-bagiannya dan
cabang-cabangnya. Perbaikan nasib ini hanyalah bisa datang seratus procent,
bilamana masyarakat sudah tidak ada kapitalisme dan imperialisme. Sebab stelsel
inilah yang sebagai kemladean tumbuh di atas tubuh kita, hidup dan subur
daripada tenaga kita, rezeki kita, zat-zatnya masyarakat kita. Oleh karena itu,
maka pergerakan kita janganlah pergerakan yang kecil-kecilan. – Pergerakan kita
itu haruslah suatu pergerakan yang ingin merobah samasekali sifatnya
masyarakat” …
Pendek-kata, dari dulu-mula tujuan
kita ialah satu masyarakat yang adil dan makmur.
Masyarakat yang demikian itu tidak
jatuh begitu saja dari langit, laksana embun di waktu malam. Masyarakat yang
demikian itu harus kita perjuangkan, masyarakat yang demikian itu harus kita
bangun. Sejak tahun 1956 kita ingin memasuki alam pembangunan. Alam pembangunan
Semesta. Dan saudara-saudara telah sering mendengar dari mulut saya, bahwa
untuk pembangunan Semesta itu kita harus mengadakan perbekalan-perbekalan dan
peralatan-peralatan lebih dahulu, dalam bahasa asingnya: mengadakan
“investment-investment” lebih dahulu. Sejak tahun 1956 mulailah periode
investment. Dan sesudah periode investment itu selesai, mulailah periode
pembangunan besar-besaran. Dan sesudah pembangunan besar-besaran itu,
mengalamilah kita Insya Allah subhanahu wa ta’ala alamnya masyarakat adil dan
makmur, alamnya masyarakat “murah sandang murah pangan”, “subur kang sarwa
tinandur, murah kang sarwa tinuku”.
Saudara-saudara! Jika kita menengok
ke belakang, maka tampaklah dengan jelas, bahwa dalam tingkatan Revolusi
phisik, segala perbuatan kita dan segala tekad kita mempunyai dasar dan tujuan
yang tegas-jelas buat kita-semua: melenyapkan kekuasaan Belanda dari bumi
Indonesia, mengenyahkan bendera tiga-warna dari bumi Indonesia. Pada satu
detik, jam sepuluh pagi, tanggal 17 Agustus, tahun 1945, Proklamasi diucap-kan,
– tetapi lima tahun lamanya Jiwa Proklamasi itu tetap berkobar-kobar, tetap
berapi-api, tetap murni menjiwai segenap fikiran dan rasa kita, tetap murni
menghikmati segenap tindak-tanduk kita, tetap murni mewahyui segenap keikhlasan
dan kerelaan kita untuk menderita dan berkorban. Undang-Undang-Dasar 1945, –
Undang-Undang Dasar Proklamasi -, benar-benar ternyata Undang-Undang Dasar
Perjoangan, benar-benar ternyata satu pelopor daripada alat-perjoangan! Dengan
Jiwa Proklamasi dan dengan Undang-Undang Dasar Proklamasi itu, perjoangan
berjalan pesat, malah perjoangan berjalan laksana lawine yang makin lama makin
gemuruh dan tak tertahan, menyapu bersih segala penghalang!
Padahal lihat! Alat-alat yang berupa
perbendaan (materiil) pada waktu itu serba kurang, serba sederhana, serba di
bawah minimum! Keuangan tambal-sulam, Angkatan Perang compang-camping,
kekuasaan politik jatuh-bangun, daerah de facto Republik Indonesia
kadang-kadang hanya seperti selebar payung. Tetapi Jiwa Proklamasi dan
Undang-Undang Dasar Proklamasi mengikat dan membakar semangat seluruh bangsa
Indonesia dari Sabang sampai Merauke! Itulah sebabnya kita pada waktu itu
pantang mundur. Itulah sebabnya kita pada waktu itu akhirnya menang. Itulah
sebabnya kita pada waktu itu akhirnya berhasil mendapat pengakuan kedaulatan, –
bukan souvereiniteits-overdracht tetapi souvereiniteits-erkenning -, pada
tanggal 27 Desember 1949.
Demikianlah gilang-gemilangnya
periode Revolusi phisik.
Dalam periode yang kemudian, yaitu
dalam periode survival, sejak 1950, maka modal perjoangan dalam arti perbendaan
(materiil) agak lebih besar daripada sebelumnya. Keuangan kita lebih longgar,
Angkatan Perang kita tidak compang-camping lagi; kekuasaan politik kita diakui
oleh sebagian besar dunia internasional; kekuasaan de facto kita melebar sampai
daerah di muka pintu-gerbang Irian Barat. Tetapi dalam arti modal-mental, maka
modal-perjoangan kita itu mengalami satu kemunduran. Apa sebab?
Pertama oleh karena jiwa, sesudah
berakhirnya sesuatu perjoangan phisik, selalu mengalami satu kekendoran; kedua
oleh karena pengakuan kedaulatan itu kita beli dengan berbagai macam kompromis.
Kompromis, tidak hanya dalam arti
penebusan dengan kekayaan materiil, tetapi 1ebih jahat daripada itu: kompromis
dalam arti mengorbankan Jiwa-Revolusi, dengan segala akibat daripada itu:
Dengan Belanda, melalui K.M.B., kita
harus mencairkan jiwa revolusi kita; di Indonesia sendiri, kita harus
berkompromis dengan golongan-golongan yang non-revolusioner: golongan-golongan
blandis, golongan-golongan reformis, golongan-golongan konservatif,
golongan-golongan kontra-revolusioner, golongan-golongan bunglon dan cucunguk.
Sampai-sampai kita, dalam mengorbankan jiwa revolusi ini, meninggalkan
Undang-Undang Dasar 1945 sebagai alat-perjoangan!
Saya tidak mencela K.M.B. sebagai
taktik perjoangan. Saya sendiri dulu mengguratkan apa yang saya namakan “tracee
baru” untuk memperoleh pengakuan kedaulatan. Tetapi saya tidak menyetujui orang
yang tidak menyedari adanya bahaya-bahaya penghalang Revolusi yang timbul
sebagai akibat daripada kompromis K.M.B. itu. Apalagi orang yang tidak
menyedari bahwa K.M.B. adalah satu kompromis! Orang-orang yang demikian itu
adalah orang-orang yang pernah saya namakan orang-orang posibilis, orang-orang
yang pada hakekatnya tidak dinamis-revolusioner, bahkan mungkin
kontra-revolusioner. Orang-orang yang demikian itu sedikitnya adalah
orang-orang yang beku, orang-orang yang tidak mengerti maknanya “taktik”,
orang-orang yang mencampur-bawurkan taktik dan tujuan, orang-orang yang jiwanya
“mandek”.
Orang-orang yang demikian itulah, di
samping sebab-sebab lain, meracuni jiwa bangsa Indonesia sejak 1950 dengan
racunnya reformisme. Merekalah yang menjadi salah satu sebab kemunduran
modal-mental daripada Revolusi kita sejak 1950, meskipun di lapangan peralatan
materiil kita mengalami sedikit kemadjuan. Kalau tergantung daripada mereka,
kita sekarang masih hidup dalam alam K.M.B.! Masih hidup dalam alam Uni
Indonesia-Belanda! Masih hidup dalam alam supremasi modal Belanda!
Mereka berkata, bahwa kita harus
selalu tunduk kepada perjanjian Internasional: Satu kali kita setujui sesuatu
perjanjian internasional, sampai lebur-kiamat kita tidak boleh menyimpang
daripadanya! Mereka berkata, bahwa kita tidak boleh merobah negara federal á la
van Mook, tidak boleh menghapuskan Uni, oleh karena kita telah menandatangani
perjanjian K.M.B. “Setia kepada aksara, setia kepada aksara!”, demikianlah
wijsheid yang mereka keramatkan. Nyatalah mereka samasekali tidak mengerti apa
yang dinamakan Revolusi. Nyatalah mereka tidak mengerti bahwa Revolusi justru
mengingkari aksara!
Dan nyatalah mereka tidak mengerti,
– oleh karena mereka memang tidak ahli revolusi -, bahwa modal-pokok bagi
tiap-tiap revolusi nasional menentang imperialisme-kolonialisme ialah
Konsentrasi kekuatan nasional, dan bukan perpecahan kekuatan nasional. Meskipun
kita menjetujui pemberian autonomi-daerah seluas-luasnya sesuai dengan motto
kita Bhinneka Tunggal Ika, maka federalisme á la van Mook harus kita tidak
setiai, harus kita kikis-habis selekas-lekasnya, oleh karena federalisme á la
van Mook itu adalah pada hakekatnca alat pemecah-belah kekuatan nasional.
Jahatnya politik pemecah-belahan ini ternyata sekali sejak tahun 1950 itu, dan
mencapai klimaksnya dalam pemberontakan P.R.R.I.-Permesta dua tahun yang lalu,
dan oleh karenanya harus kita gempur-hancur habis-habisan, sampai hilang-lenyap
P.R.R.I