Di antara pandangan Marx yang dianggap penting oleh pendukung aliran Marxisme adalah teori perjuangan kelas (Struggle of Classess).
.Sebenarnya, Marx bukanlah orang yang pertama melakukan kajian tentang konsep kelas-kelas sosial. Bertahun-tahun sebelumnya, para sejarawan borjuasi telah melakukan kajian mengenai konsep tersebut. Di antara sejarawan itu yang terkemuka adalah Babeuf. Ia melakukan studi dalam konteks perjuangan kelas dan proses berkembangnya kapitalisme dalam masyarakat Eropa. Ia telah melakukan studi yang mendalam mengenai pertarungan antara kelas yang tertindas (mayoritas) dengan kelas kapitalis yang kaya (minoritas).
.Kelas merupakan sebuah konsep yang
menentukan kedudukan sosial manusia dari segi kepemilikan benda atau
harta yang tidak dapat dipisahkan dari konsep ekonomi. Kecenderungan
Marx untuk menganalisis ide-ide tentang teori kelas ditonjolkan dalam
bagian akhir karyanya yaitu Das Capital. Secara umum, konsep
kelas sosial yang diutarakan oleh Marx telah diterjemahkan dalam versi
sistem ekonomi kapitalisme. Dalam karyanya tersebut, Marx telah membagi
tiga kelas utama dalam struktur masyarakat kapitalis, yaitu kelas buruh
upahan (Wage Labourers), kelas kapitalis, dan kelas pemilik tanah (Landowner). Walau bagaimanapun, perkembangan struktur industri kapitalisme hanya memperkenalkan dua jenis kelas saja, yaitu borjuis dan proletar. Semua
kelas buruh upahan akan diklasifikasikan sebagai kelas proletar.
Sedangkan kelas kapitalis dan pemilik tanah dimasukkan dalam kelas
borjuis. Namun kedua kelas yang diklasifikasikan dalam kelas borjuis
tersebut bersaing ketat dalam memperoleh dan merebut keuntungan atau
kekayaan. Dan mereka yang ‘kalah’ akan diletakkan di posisi kelas
proletar.
Kelas proletar dan borjuis memiliki
peran dan fungsi yang berbeda. Kelas borjuis memiliki dan menguasai
alat-alat produksi serta menguasai seluruh rangkaian sistem produksi,
sedangkan kelas proletar dijadikan sebagai tenaga kerja yang bekerja
untuk kelas borjuis dalam rangkaian proses produksi. Kelas proletar
seringkali dianggap sebagai kelasnya orang-orang yang hanya memiliki
tenaga kerja. Mereka tak memiliki apapun selain tenaga yang mereka
gunakan untuk bekerja. Sebagai imbalannya, mereka menerima gaji dari
kaum borjuis dengan jumlah yang sangat rendah. Ini tentu saja tidak adil
bagi mereka. Jurang perbedaan antara kedua kelas inilah yang menyulut
perjuangan dan penentangan antara kelas-kelas sosial. Marx menyebutkan
bahwa sejarah manusia adalah sejarah pertentangan antara kelas yang
menindas dan kelas yang tertindas. Ia mengatakan bahwa pertentangan
tersebut kadang kala dapat dilihat secara tersembunyi, tetapi terkadang
juga dapat berlaku dan dilihat secara terbuka.
Marx diasah oleh analisisnya yang
semakin matang terhadap sistem kapitalisme dini di awal Revolusi
Industri di Inggris. Marx menaruh perhatian yang mendalam terhadap
fenomena dehumanisasi kaum pekerja, termasuk buruh perempuan dan
anak-anak. Kelas buruh yang diperas tenaganya dengan imbalan upah yang
jauh di bawah nilai jual komoditi yang dihasilkannya, sementara nilai
lebih (surplus value) komoditi-komoditi yang dihasilkan oleh kaum buruh memperkuat sistem produksi kapitalis dan menguntungkan kaum borjuis.
Setelah menyadari bahwa sistem ekonomi
merupakan pondasi, yang di atasnya superstruktur politik didirikan, Marx
mencurahkan perhatiannya untuk mempelajari sistem ekonomi ini. Das Capital,
karya Marx yang paling monumental telah menbuktikan bahwa Marx adalah
orang yang konsisten dalam studi mengenai sistem ekonomi modern, yakni
kapitalisme, ekonomi politik klasik, sebelum Marx, yang berkembang di
Inggris, negeri yang paling maju saat itu.
Adam Smith dan David Richardo, dengan studi mendalamnya tentang sistem
ekonomi, meletakkan dasar-dasar dari teori nilai kerja. Mereka
menganggap bahwa nilai suatu komiditi ditentukan oleh kuantitas waktu
kerja yang digunakan untuk memproduksi komoditi itu. Eksploitasi
terhadap kaum proletar sangat menarik perhatian Marx di mana buruh
diharuskan bekerja dalam rentang waktu yang sangat lama dengan upah yang
tidak sebanding dengan hasil kerjanya. Jika para ahli ekonomi borjuis
melihat hubungan pertukaran antarkomiditi, Marx justru memperhatikan
hubungan antar-manusia.
Modal (kapital) memperlihatkan sebuah
fenomena hubungan yang menarik bagi Marx : tenaga kerja manusia menjadi
sebuah komoditi. Para pekerja upahan menjual tenaganya kepada para
pemilik tanah, pabrik, dan alat-alat kerja. Seorang pekerja menggunakan
sebagain besar waktunya untuk bekerja demi menutupi biaya hidupnya dan
keluarganya dengan upah yang sangat minim. Sedangkan sebagian waktunya
yang lain digunakan untuk bekerja tanpa mendapat upah, semata-mata hanya
mendatangkan nilai lebih untuk para pemilik modal. Nilai lebih (surplus value) merupakan sumber keuntungan dan sumber kemakmuran bagi kelas pemilik modal (kapitalis).
Modal menjadi sesuatu yang menghantam
para pekerja, menghancurkan para pemilik modal kecil, dan menciptakan
banyak sekali kelompok-kelompok pengangguran. Dalam bidang pertanian,
misalnya, para petani yang tidak memiliki modal besar untuk membeli
mesin pertanian yang canggih akan kalah bersaing dengan orang yang
memiliki modal besar dan sanggup membeli mesin pertanian yang canggih.
Kondisi ini akan menghancurkan para pemodal kecil dalam kompetisi yang
berbasis modal. Penurunan bahkan kehancuran pemodal kecil akan membuka
peluang monopoli komoditi oleh para pemodal besar. Tak hayal, rakyat
kecil akan semakin tertindas oleh kaum-kaum kapitalis. Kapitalisme telah
menang di seluruh dunia. Tetapi kemenangan itu hanyalah menjadi sebuah
awal dari kemenangan para pekerja terhadap penindasan modal yang
membelenggu mereka.
Dengan semakin kuatnya belenggu penindasan terhadap kelas proletar, Marx, dalam bukunya yang berjudul Poverty of Philosophy,
menegaskan bahwa skenario eksploitasi kelas telah melahirkan unsur
‘antagonisme kelas’ yang merangsang keinginan para kaum proletar untuk
bebas dari belenggu penindasan. Keinginan untuk bebas dari penindasan
tersebut menjadi penggerak utama mereka untuk membentuk sistem sosial
yang baru.
Kelas tersebut akan mendesak perubahan struktur sosial dengan cara-cara
kekerasan dan kekejaman seperti perampasan kekuasaan secara revolusi
(dengan cepat). Ini merupakan harapan Marx agar kelas proletar menjadi
kelas penguasa apabila mampu merampas kekuasaan dan kedudukan kelas
borjuis dan memusatkan seluruh peralatan-peralatan produksi dalam tangan
kaum proletar.
Sistem sosial baru yang akan didirikan
kaum proletar tidaklah sama seperti kelas feodalisme atau kapitalisme.
Kaum proletar, justru sebaliknya, akan mengimplementasikan sebuah
kondisi sosial yang tanpa kelas. Masyarakat tanpa kelas merupakan
manifestasi dari perjuangan kaum proletar untuk menghapus jurang pemisah
di antara kelas sosial. Dengan terwujudnya kondisi tersebut, sistem
kekuasaan tidak lagi berfungsi sebagai alat untuk menindas suatu
golongan masyarakat. Perjuangan kelas seperti itu hanyalah berakhir
melalui penghapusan sistem kapitalisme dan terwujudnya masyarakat tanpa
kelas (komunisme).
Kaum buruh sebagai kaum proletar untuk
memenangkan revolusi sosialis salah satu syarat pokok menurut dalil
Marxis adalah mayoritas daripada penduduk harus terdiri atas
proletariat. Dan oleh sebab itu, di negeri di mana proletariat belum
cukup berkembang dan belum merupakan mayoritas daripada penduduk,
kemenangan sosialisme tidaklah mungkin.
Taktik perjuangan kelas yang digunakan
Marx seringkali menjadi isu perdebatan di antara pemikir - pemikir
Marxisme setelahnya. Taktik tersebut merujuk kepada konsep diktator
proletariat. Konsep tersebut menjadi kunci utama dalam memahami teori
Marx berkenaan bentuk masyarakat komunis dan fungsi negara proletariat.
Marx dan Engels dalam karyanya The Communist Manifesto (1970: 74) telah mengemukakan Political Rule of Proletariat yang menyarankan agar golongan proletariat menaklukkan penguasaan negara agar mereka bisa memanfaatkan kuasa politiknya untuk merampas semua modal dari cengkaman golongan borjuis dan memusatkan semua alat produksi di bawah kekuasaan negara yang dikuasai oleh golongan proletariat sendiri. Ini dapat dilihat sebagai usaha kaum proletar untuk memusnahkan keistimewaan-keistimewaan yang dimiliki oleh golongan borjuis.
Menurut Marx, proses perubahan sejarah
bergerak melalui komunisme primitif, feodalisme, kapitalisme,
selanjutnya melalui sejarah sosialisme, dan berakhir dengan komunisme.
Setiap transformasi sejarah tersebut dicapai melalui revolusi kaum buruh
(proletariat) yang mewakili inspirasi seluruh manusia. Melalui
revolusi, kebebasan bersifat ‘universal’ akan dapat dicapai oleh kelas
buruh, sekaligus mewakili semua umat manusia yang mau melepaskan diri
dari belenggu perhambaan
Perjuangan untuk mewujudkan revolusi
tersebut akan gagal manakala kelas proletariat tidak memiliki kekuasaan
dalam negara sebagai ‘alat’ untuk menggulingkan sistem kapitalisme. Oleh
karenanya, Marx sangat menekankan bahwa untuk menghapus kapitalisme,
yang menjadi syarat mutlak adalah kaum proletar harus bisa merebut
kekuasaan negara lalu menguasainya.
Marx tidak sepakat dengan pendirian
tokoh anarkisme seperti Michael Bakunin (1814-1876) dan Josep Proudhon
(1809-1865) yang menginginkan sistem negara dihapuskan secara total.
Sebaliknya, Marx merasakan bahwa negara sangat berguna untuk
merealisasikan diktator proletariat, meskipun pada awalnya
negara difungsikan sebagai mekanisme penindasan sesama kelas sosial. Ini
kerana Marx meletakkan fungsi negara untuk tujuan peralihan saja
terutama usaha yang menjurus ke arah sistem egalitarian yaitu sistem
tanpa kerajaan, kelas, dan harta (Marx & Engels 1976: 237). Walaupun
Marx menganggap kekuasaan negara hanya bersifat sementara, tetapi
negara digunakan atas kepentingan kelas buruh yang mau memperjuangkan
persamaan hak dalam kepemilikan harta.
Marx mengatakan bahwa sejarah perjuangan
manusia merupakan sejarah perjuangan kelas dan negara hanya merupakan
alat yang digunakan oleh kelas berkuasa untuk menindas seluruh kelas
bawahan. Konsep-konsep dominasi tersebut akan berakhir dengan
penghapusan sistem kapitalisme, dan itu merupakan tanda bahwa kelas
proletariat yang dipelopori oleh kaum buruh telah menang. Keberhasilan
sebuah revolusi dalam perjuangan meruntuhkan pemerintahan lalu
menguasainya hanya bergantung kepada sikap diktator proletariat yang
dimanifestasikan dalam bentuk perjuangan kelas. Sikap diktator itu
sendiri diartikan sebagai ‘alat’ dalam tahap peralihan ke arah
pemusnahan semua kelas masyarakat (classless), yaitu tranformasi dari masyarakat kapitalis ke masyarakat komunis.
0 komentar:
Posting Komentar