Sabtu, 13 September 2014

Konsep Perjuangan Karl Max


Di antara pandangan Marx yang dianggap penting oleh pendukung aliran Marxisme adalah teori perjuangan kelas (Struggle of Classess).
.Sebenarnya, Marx bukanlah orang yang pertama melakukan kajian tentang konsep kelas-kelas sosial. Bertahun-tahun sebelumnya, para sejarawan borjuasi telah melakukan kajian mengenai konsep tersebut. Di antara sejarawan itu yang terkemuka adalah Babeuf. Ia melakukan studi dalam konteks perjuangan kelas dan proses berkembangnya kapitalisme dalam masyarakat Eropa. Ia telah melakukan studi yang mendalam mengenai pertarungan antara kelas yang tertindas (mayoritas) dengan kelas kapitalis yang kaya (minoritas).  
.Kelas merupakan sebuah konsep yang menentukan kedudukan sosial manusia dari segi kepemilikan benda atau harta yang tidak dapat dipisahkan dari konsep ekonomi. Kecenderungan Marx untuk menganalisis ide-ide tentang teori kelas ditonjolkan dalam bagian akhir karyanya yaitu Das Capital. Secara umum, konsep kelas sosial yang diutarakan oleh Marx telah diterjemahkan dalam versi sistem ekonomi kapitalisme. Dalam karyanya tersebut, Marx telah membagi tiga kelas utama dalam struktur masyarakat kapitalis, yaitu kelas buruh upahan (Wage Labourers), kelas kapitalis, dan kelas pemilik tanah (Landowner). Walau bagaimanapun, perkembangan struktur industri kapitalisme hanya memperkenalkan dua jenis kelas saja, yaitu borjuis dan proletar. Semua kelas buruh upahan akan diklasifikasikan sebagai kelas proletar. Sedangkan kelas kapitalis dan pemilik tanah dimasukkan dalam kelas borjuis. Namun kedua kelas yang diklasifikasikan dalam kelas borjuis tersebut bersaing ketat dalam memperoleh dan merebut keuntungan atau kekayaan. Dan mereka yang ‘kalah’ akan diletakkan di posisi kelas proletar.

Kelas proletar dan borjuis memiliki peran dan fungsi yang berbeda. Kelas borjuis memiliki dan menguasai alat-alat produksi serta menguasai seluruh rangkaian sistem produksi, sedangkan kelas proletar dijadikan sebagai tenaga kerja yang bekerja untuk kelas borjuis dalam rangkaian proses produksi. Kelas proletar seringkali dianggap sebagai kelasnya orang-orang yang hanya memiliki tenaga kerja. Mereka tak memiliki apapun selain tenaga yang mereka gunakan untuk bekerja. Sebagai imbalannya, mereka menerima gaji dari kaum borjuis dengan jumlah yang sangat rendah. Ini tentu saja tidak adil bagi mereka. Jurang perbedaan antara kedua kelas inilah yang menyulut perjuangan dan penentangan antara kelas-kelas sosial. Marx menyebutkan bahwa sejarah manusia adalah sejarah pertentangan antara kelas yang menindas dan kelas yang tertindas. Ia mengatakan bahwa pertentangan tersebut kadang kala dapat dilihat secara tersembunyi, tetapi terkadang juga dapat berlaku dan dilihat secara terbuka.

Marx diasah oleh analisisnya yang semakin matang terhadap sistem kapitalisme dini di awal Revolusi Industri di Inggris. Marx menaruh perhatian yang mendalam terhadap fenomena dehumanisasi kaum pekerja, termasuk buruh perempuan dan anak-anak. Kelas buruh yang diperas tenaganya dengan imbalan upah yang jauh di bawah nilai jual komoditi yang dihasilkannya, sementara nilai lebih (surplus value) komoditi-komoditi yang dihasilkan oleh kaum buruh memperkuat sistem produksi kapitalis dan menguntungkan kaum borjuis.

Setelah menyadari bahwa sistem ekonomi merupakan pondasi, yang di atasnya superstruktur politik didirikan, Marx mencurahkan perhatiannya untuk mempelajari sistem ekonomi ini. Das Capital, karya Marx yang paling monumental telah menbuktikan bahwa Marx adalah orang yang konsisten dalam studi mengenai sistem ekonomi modern, yakni kapitalisme, ekonomi politik klasik, sebelum Marx, yang berkembang di Inggris, negeri yang paling maju saat itu. Adam Smith dan David Richardo, dengan studi mendalamnya tentang sistem ekonomi, meletakkan dasar-dasar dari teori nilai kerja. Mereka menganggap bahwa nilai suatu komiditi ditentukan oleh kuantitas waktu kerja yang digunakan untuk memproduksi komoditi itu. Eksploitasi terhadap kaum proletar sangat menarik perhatian Marx di mana buruh diharuskan bekerja dalam rentang waktu yang sangat lama dengan upah yang tidak sebanding dengan hasil kerjanya. Jika para ahli ekonomi borjuis melihat hubungan pertukaran antarkomiditi, Marx justru memperhatikan hubungan antar-manusia.

Modal (kapital) memperlihatkan sebuah fenomena hubungan yang menarik bagi Marx : tenaga kerja manusia menjadi sebuah komoditi. Para pekerja upahan menjual tenaganya kepada para pemilik tanah, pabrik, dan alat-alat kerja. Seorang pekerja menggunakan sebagain besar waktunya untuk bekerja demi menutupi biaya hidupnya dan keluarganya dengan upah yang sangat minim. Sedangkan sebagian waktunya yang lain digunakan untuk bekerja tanpa mendapat upah, semata-mata hanya mendatangkan nilai lebih untuk para pemilik modal. Nilai lebih (surplus value) merupakan sumber keuntungan dan sumber kemakmuran bagi kelas pemilik modal (kapitalis).

Modal menjadi sesuatu yang menghantam para pekerja, menghancurkan para pemilik modal kecil, dan menciptakan banyak sekali kelompok-kelompok pengangguran. Dalam bidang pertanian, misalnya, para petani yang tidak memiliki modal besar untuk membeli mesin pertanian yang canggih akan kalah bersaing dengan orang yang memiliki modal besar dan sanggup membeli mesin pertanian yang canggih. Kondisi ini akan menghancurkan para pemodal kecil dalam kompetisi yang berbasis modal. Penurunan bahkan kehancuran pemodal kecil akan membuka peluang monopoli komoditi oleh para pemodal besar. Tak hayal, rakyat kecil akan semakin tertindas oleh kaum-kaum kapitalis. Kapitalisme telah menang di seluruh dunia. Tetapi kemenangan itu hanyalah menjadi sebuah awal dari kemenangan para pekerja terhadap penindasan modal yang membelenggu mereka.

Dengan semakin kuatnya belenggu penindasan terhadap kelas proletar, Marx, dalam bukunya yang berjudul Poverty of Philosophy, menegaskan bahwa skenario eksploitasi kelas telah melahirkan unsur ‘antagonisme kelas’ yang merangsang keinginan para kaum proletar untuk bebas dari belenggu penindasan. Keinginan untuk bebas dari penindasan tersebut menjadi penggerak utama mereka untuk membentuk sistem sosial yang baru. Kelas tersebut akan mendesak perubahan struktur sosial dengan cara-cara kekerasan dan kekejaman seperti perampasan kekuasaan secara revolusi (dengan cepat). Ini merupakan harapan Marx agar kelas proletar menjadi kelas penguasa apabila mampu merampas kekuasaan dan kedudukan kelas borjuis dan memusatkan seluruh peralatan-peralatan produksi dalam tangan kaum proletar.  

Sistem sosial baru yang akan didirikan kaum proletar tidaklah sama seperti kelas feodalisme atau kapitalisme. Kaum proletar, justru sebaliknya, akan mengimplementasikan sebuah kondisi sosial yang tanpa kelas. Masyarakat tanpa kelas merupakan manifestasi dari perjuangan kaum proletar untuk menghapus jurang pemisah di antara kelas sosial. Dengan terwujudnya kondisi tersebut, sistem kekuasaan tidak lagi berfungsi sebagai alat untuk menindas suatu golongan masyarakat. Perjuangan kelas seperti itu hanyalah berakhir melalui penghapusan sistem kapitalisme dan terwujudnya masyarakat tanpa kelas (komunisme).

Kaum buruh sebagai kaum proletar untuk memenangkan revolusi sosialis salah satu syarat pokok menurut dalil Marxis adalah mayoritas daripada penduduk harus terdiri atas proletariat. Dan oleh sebab itu, di negeri di mana proletariat belum cukup berkembang dan belum merupakan mayoritas daripada penduduk, kemenangan sosialisme tidaklah mungkin.

Taktik perjuangan kelas yang digunakan Marx seringkali menjadi isu perdebatan di antara pemikir - pemikir Marxisme setelahnya. Taktik tersebut merujuk kepada konsep diktator proletariat. Konsep tersebut menjadi kunci utama dalam memahami teori Marx berkenaan bentuk masyarakat komunis dan fungsi negara proletariat.

Marx dan Engels dalam karyanya The Communist Manifesto (1970: 74) telah mengemukakan Political Rule of Proletariat yang menyarankan agar golongan proletariat menaklukkan penguasaan negara agar mereka bisa memanfaatkan kuasa politiknya untuk merampas semua modal dari cengkaman golongan borjuis dan memusatkan semua alat produksi di bawah kekuasaan negara yang dikuasai oleh golongan proletariat sendiri. Ini dapat dilihat sebagai usaha kaum proletar untuk memusnahkan keistimewaan-keistimewaan yang dimiliki oleh golongan borjuis.

Menurut Marx, proses perubahan sejarah bergerak melalui komunisme primitif, feodalisme, kapitalisme, selanjutnya melalui sejarah sosialisme, dan berakhir dengan komunisme. Setiap transformasi sejarah tersebut dicapai melalui revolusi kaum buruh (proletariat) yang mewakili inspirasi seluruh manusia. Melalui revolusi, kebebasan bersifat ‘universal’ akan dapat dicapai oleh kelas buruh, sekaligus mewakili semua umat manusia yang mau melepaskan diri dari belenggu perhambaan

Perjuangan untuk mewujudkan revolusi tersebut akan gagal manakala kelas proletariat tidak memiliki kekuasaan dalam negara sebagai ‘alat’ untuk menggulingkan sistem kapitalisme. Oleh karenanya, Marx sangat menekankan bahwa untuk menghapus kapitalisme, yang menjadi syarat mutlak adalah kaum proletar harus bisa merebut kekuasaan negara lalu menguasainya.

Marx tidak sepakat dengan pendirian tokoh anarkisme seperti Michael Bakunin (1814-1876) dan Josep Proudhon (1809-1865) yang menginginkan sistem negara dihapuskan secara total. Sebaliknya, Marx merasakan bahwa negara sangat berguna untuk merealisasikan diktator proletariat, meskipun pada awalnya negara difungsikan sebagai mekanisme penindasan sesama kelas sosial. Ini kerana Marx meletakkan fungsi negara untuk tujuan peralihan saja terutama usaha yang menjurus ke arah sistem egalitarian yaitu sistem tanpa kerajaan, kelas, dan harta (Marx & Engels 1976: 237). Walaupun Marx menganggap kekuasaan negara hanya bersifat sementara, tetapi negara digunakan atas kepentingan kelas buruh yang mau memperjuangkan persamaan hak dalam kepemilikan harta.

Marx mengatakan bahwa sejarah perjuangan manusia merupakan sejarah perjuangan kelas dan negara hanya merupakan alat yang digunakan oleh kelas berkuasa untuk menindas seluruh kelas bawahan. Konsep-konsep dominasi tersebut akan berakhir dengan penghapusan sistem kapitalisme, dan itu merupakan tanda bahwa kelas proletariat yang dipelopori oleh kaum buruh telah menang. Keberhasilan sebuah revolusi dalam perjuangan meruntuhkan pemerintahan lalu menguasainya hanya bergantung kepada sikap diktator proletariat yang dimanifestasikan dalam bentuk perjuangan kelas. Sikap diktator itu sendiri diartikan sebagai ‘alat’ dalam tahap peralihan ke arah pemusnahan semua kelas masyarakat (classless), yaitu tranformasi dari masyarakat kapitalis ke masyarakat komunis.

0 komentar:

Posting Komentar